Maukah Kau MENUNGGUKU?
4 Agustus
2013 pukul 20:22
Terdengar
bunyi sms dari sebuah HP, isinya:
“Maukah
kau menungguku ukhti???
Insya
Allah satu tahun lagi Ana akan datang ke rumahmu untuk mengkhitbahmu”
Jantung
Sang Ukhti seperti berhenti berdetak, darah berhenti mengalir, nafasnya naik
turun (kaget apa bengek?). Mimpi apa semalam pikirnya sampai dapat sms seperti
itu.
Kawan
pernahkah kau mengalami hal itu??? (tentu tak harus mengalaminya tapi cukup
ambil ibroh darinya)
Sebagai
seorang ikhwan, Sang Akhi yang tak ingin kehilangan Sang Ukhti, sedangkan Sang
Akhi mengetahui jika pacaran itu tak ada dalam Islam. Tapi begitu takutnya dia
kehilangan Sang Ukhti. sehingga dia memberanikan diri untuk menanyakan itu.
(wait.. what happen aya naon? Akhi Ukhti, kalian tahu syari’at..!)
Atau
sebagai Sang Ukhti yang begitu kaget mendapat sms seperti itu. Tak tahu apa
yang harus dilakukan, karena selama ini Sang Akhi terlihat biasa saja.
Tentu
akan mudah saja menolak permintaan Sang Akhi jika Sang Ukhti ternyata tidak
menyukai Sang Akhi. Tapi bagaimana jika ternyata Sang Ukhti juga menyukai Sang
Akhi?
Tentu
saja ini bisa menjadi dilema untuk Sang Ukhti, menunggu Sang Akhi yang memang
juga dia sukai, atau menolaknya karena dia merasa ini tidak dibenarkan oleh
Islam.
Sepertinya
fenomena seperti ini mungkin-mungkin saja terjadi dikalangan para aktifis
dakwah terlebih lagi yang bukan. Sudah ada keinginan untuk menikah tapi apa
daya persiapan pun belum ada, belum mempunyai pekerjaan tetap atau masih
terbentur dengan kuliah yang belum selesai.
Jika
kita berbicara masalah pacaran, rata-rata semua orang sepakat dan mafhum kalau
itu tidaklah ada dalam Islam, kecuali sama suami/istri sendiri. (Ya iyalah..)
Tapi
bagaimana dengan mengikat janji untuk menikah???
Kawan,
tahukah kau????
Ternyata
yang seperti ini tak ada dalam Islam. Kenapa???
Karena
jodoh itu adalah kuasa-Nya, Allah. Tak dibenarkan seseorang mengikat janji
untuk menikah, jika belum mempunyai persiapan yang matang. Beda lagi kalau
masalah khitbah.
Memang
dibolehkan untuk mengutamakan diri sendiri tentang masalah jodoh dan jodoh itu
bisa membuat kita semakin dekat dengan Allah seperti dalam novel Ketika Cinta
Bertasbih hal. 349 karangan Habiburrahman el Shirazy, biar ngga jenuh penulis
baca novel juga. Berikut kutipan perbincangan antara Anna dan Cut Mala.
“Maaf
Kak saya mau tanya. Kalau misalnya. sekali lagi ini misalnya lho kak. Misalnya
ada seorang gadis Muslimah, dilamar oleh seorang pemuda yang sangat baik. Baik
agamanya, akhlaknya, prestasinya, juga wajahnya. Lalu ia mengalah, mengutamakan
saudarinya yang menurutnya lebih baik darinya dan lebih pantas menikah dengan
pemuda Muslim tadi. Apa ini termasuk makruh Kak?”
“Menurutmu
menikah itu ibadah nggak Dik?” Tanya Anna
“Ibadah
Kak. Bukankah menikah itu menyempurnakan separuh agama?”
“Jadi
jelas kan jawabannya. Aku pribadi kalau menemukan pemuda yang baik, yang
menurutku sungguh baik dan ada yang menjodohkan aku dengannya ya aku akan
mengutamakan diriku dulu. Tidak akan aku tawarkan pada akhwat lain. Menikah kan
ibadah. Cepat-cepat menikah kan juga bagian dari berlomba-lomba dalam kebaikan. Kalau aku itsar, mengutamakan akhwat lain,
berarti aku akan kalah cepat. Akhwat itu akan menikah duluan, dapat jodoh
duluan dan aku belum. Jadi tertunda. Dan, tambah lagi belum tentu aku akan
dapat jodoh yang lebih baik dari itu. Meskipun jodoh ada yang mengaturnya yaitu
Allah. Tapi kita kan harus ikhtiar. Di antaranya bentuk ikhtiar, ya, ketika
menemukan yang baik tidak usah mengutamakan orang lain.”
Memang
boleh, tidak mengutamakan orang lain. Tapi juga jangan karena takut tidak
menikah dengannya lalu mengikat janji dengan dia, Sang pujaan hati.
Tahukah
kawan????
Setiap
orang mempunyai hati, hati tersebut akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya,
Sang Pencipta, Allah.
Bisakah
kita menjaga hati kita jika ternyata kita memikirkan seseorang yang belum halal
untuk untuk kita?
Saudaraku
ikhwan wa akhwat Fillah, sudah menjadi fitrah bagi manusia bahwa kita akan
menyukai atau cenderung pada lawan jenis. Hal ini sudah jelas diterangkan oleh
Allah dalam surah Ar Rum ayat 21 dan Ali Imron ayat 14. Namun perasaan tersebut
tidak akan muncul jika tidak ada sebab yang mengakibatkan perasaan ini muncul
ke permukaan.
Komunikasi
yang intens akan cenderung menimbulkan rasa simpati pada kedua orang yang
melakukannya. Rasa simpati dan kenyamanan inilah yang harus dihindari karena ia
pertanda telah adanya “rasa nano-nano” yang belum saatnya hadir. Dari itu
jelaslah kalau hubungan dan komunikasi yang terjalin di antara ikhwan akhwat
non mahram memiliki potensi besar untuk menumbuhkan benih-benih simpati yang
menjurus pada rasa “cintrong” sebelum waktunya.
Rasa
simpati akan merangsang timbulnya rasa suka dan rasa suka akan merangsang
timbulnya kenyamanan dan kenyamanan akan menjadi indikasi telah terkena “panah
iblis” yang biasanya kita kenal dengan nama “cinta”. Cinta sebelum ia
dihalalkan. Boleh saja kita mencintai seseorang kalau ia sudah halal (sudah
menikah), karena cinta adalah fitrah. Namun, cinta pada orang yang belum berhak
dicintai merupakan malapetaka yang harus dihindari dan harus dikikis kalau
benihnya sudah mulai tumbuh. Kenapa dikatakan malapetaka, karena pada dasarnya
rasa cinta ini merupakan manipulasi dari bisikan iblis yang cenderung akan
membawa pelakunya kepada jurang kehancuran, membawa pelakunya untuk bermaksiat
dan mencederai cintanya pada Allah.
Kalau
memang tujuannya adalah untuk mencari pasangan itu sah-sah saja, namun kalau
belum siap dan meminta untuk menunggu? Terlebih lagi jika dalam rentan waktu
yang cukup lama, hal ini harus dihindari. Mungkin saja salah satu pihak berubah
pikiran karena godaan atau halangan dari lingkungan. Misalnya, keluarga salah
satu pihak berubah pikiran untuk melanjutkan pernikahan atau salah satu pihak
‘kepincut’ dengan orang lain. Berubah pikiran sehingga salah satu pihak
tertentu akan menyakitkan bagi pihak lain. Lalu hubungan baik akan berubah
menjadi hubungan yang tidak harmonis, bahkan kebencian. Mungkin saja hubungan
komunikasi seperlunya lama kelaman berubah menjadi komunikasi yang tidak perlu
(misalnya : omongan yang berlebih-lebihan untuk menanyakan kabar masing-masing,
sms/telpon yang bernada kangen atau merayu, dll). Hati masing-masing menjadi
sensitif dan sentimentil. Bayangan romantisme menjadi terlalu jauh, sehingga
ujung-ujungnya terjadi perzinahan. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah. Bisa
juga terjadi, akibat menunggu terlalu lama untuk menikah, maka kesungguhan hati
dari kedua belah pihak menjadi lemah. Dan akhirnya salah satu pihak ingin
menunda lagi dengan berbagai alasan. Mungkin dengan alasan yang berbeda,
sehingga akhirnya menjadi kebiasaaan untuk menunda berulang-ulang. Padahal
sejatinya tidak ada orang yang siap 100% untuk menikah.
Rasa
yang timbul sebelum adanya pernikahan dapat menimbulkan permasalahan di
kemudian hari. Rasa yang mekar sebelum waktunya akan menimbulkan permasalahan
yang sangat pelik ketika ternyata bukan ia yang ditakdirkan untuk menjadi
pendamping hidup kita nantinya. Dalam kasus seperti ini, secara tidak langsung
kita (kita? maksudnya yang merasa) telah mendzalimi pasangan kita nantinya. Hal
ini disebabkan hati kita datang padanya dalam keadaan tidak perawan, tetapi
telah pernah dimiliki orang lain. Apakah kita mau hati pasangan kita telah
pernah terikat erat di hati orang lain? Ana rasa hampir semua orang akan
menjawab tidak. (tidak nolak? ya tidak maulah..)
Yakinlah!
Kalau memang ia yang dijodohkan untuk kita (kita? ya.. masing-masing dari
kita), maka ia tidak akan kemana-mana. Selain itu, belum tentu ia merupakan
orang terbaik yang akan dikirim Allah untuk kita. Mungkin saja akan datang
pangeran berkuda putih atau bidadari kayangan yang jauh lebih baik di kemudian
hari ketika kita sudah siap untuk menikah.
Tugas
kita adalah mempersiapkan diri agar pantas untuk mendapatkan seseorang yang
jauh lebih baik nantinya, dia atau yang lain. Karena “Laki-laki baik-baik hanya
untuk wanita baik-baik dan wanita baik-baik hanya untuk laki-laki baik baik”
(An-Nur:26).
Islam
telah mengatur hubungan wanita dan laki-laki dalam sebuah pernikahan. Hubungan
khusus ikhwan akhwat bukan mahram sebelum terjadinya pernikahan apapun namanya
merupakan hal yang diharamkan dalam Islam. Karena hal ini akan cenderung
membawa pelakunya pada kemaksiatan kepada Allah. Hubungan yang dilakukan
tersebut walau tidak diikrarkan tidak akan berbeda jauh dengan bentuk pacaran,
HTS, HTI, TTM atau apapun juga namanya, jikalau komunikasi yang dilakukan
didasarkan atas dasar rasa cinta satu sama lain. Untuk itu sudah seharus dan
sebaiknya untuk membatasi hubungan dengan lawan jenis bila tidak ada hajat.
Seandainya rasa itu telah ada, sebaiknya untuk sementara jangan berhubungan
dengannya sampai waktu menikah telah tiba diluar kepentingan dan keperluan
mendesak.
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.” (Al-Ahzab: 36)
Islam
tidak melarang terlebih lagi mengharamkan CINTA, namun cinta yang bagaimana?
Rasa
cinta kepada orang lain adalah sesuatu yang fitrah dimiliki oleh seorang
manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya yang mulia. Begitu juga sebaliknya, ingin
dicintai, ingin diperhatikan, ingin disayangi oleh orang lain, semua adalah
suatu fitrah yang merupakan wujud dari gharizah an-na’u.
Gharizah
atau naluri, merupakan ”sesuatu” yang diciptakan Allah dengan sangat unik. Ia
adalah sebuah fitrah atau kebutuhan primer bagi manusia. Layaknya makanan kita
sehari-hari. Namun ia berbeda dengan makanan, dimana jika kita tidak
memenuhinya kita akan mati.
Na’am,
tidak terpenuhinya gharizah atau naluri tidak akan membuat kita mati, ia hanya
akan membuat manusia tersiksa ataupun tidak terpuaskan secara batin. Gelisah,
tidak tentram, merasa ada yang kurang dalam hidup, itu adalah sebagian dari
dampak tidak terpenuhinya naluri manusia. Bahkan pengekangan terhadap naluri,
dapat membuat manusia melakukan ”penyimpangan”, agar ia tetap bisa memenuhinya
Naluri
bertuhan (gharizah tadayyun) misalnya, secara fitrah manusia pasti memerlukan
”sesuatu” yang ia puja, ia agungkan, yang ia anggap lebih hebat, ia anggap
sempurna, mampu melindungi dan menolongnya dikala terjepit. ”Sesuatu” tempat
manusia bergantung padanya karena merasa dirinya adalah makhluk lemah dan
terbatas. Untuk itulah manusia menyembah Tuhan. Untuk itulah manusia beragama.
Komunis sekalipun yang notabane menolak keberadaan Tuhan, melakukan
”penyimpangan” dengan memuja tokohnya yang diibaratkan seperti dewa.
Begitu
pula dengan gharizah an-na’u (naluri melestarikan jenis), dimana menjadi fitrah
bagi manusia untuk tertarik pada lawan jenis, menyalurkan keinginan seksualnya,
dan sejenisnya. Pengekangan terhadap naluri ini akan ”memaksa” manusia untuk
melakukan penyimpangan.
Dengan
demikian menjadi hal yang wajar jika tidak terpenuhinya naluri, akan membuat
manusia melakukan penyimpangan. Sebab, naluri adalah fitrah bagi manusia. Dan
manusia akan cenderung menyesuaikan diri dengan fitrahnya. Na’am, aturan dalam
Islamlah yang sesuai seiring sejalan dengan fitrah manusia.
Tertarik
pada lawan jenis (baca: jatuh cinta) adalah hal yang wajar terjadi pada
manusia. Sebab
ia
adalah bagian dari gharizah an-na’u. Ia bisa ”menular” pada laki-laki maupun
perempuan, tua maupun muda, orang miskin maupun orang kaya, siapapun berpotensi
terjangkit ”wabah” ini. Banyak sekali tanda-tanda atau gejala yang menunjukkan
seseorang telah dinyatakan positif terkena wabah ini. Sering melamun, mendadak
puitis atau romantis, bahkan hingga penampilan dan berkelakuan berbeda dari
biasanya.
Jatuh
cinta adalah wajar. Ia memang sesuatu yang abstrak dan sulit didefinisikan.
Tapi siapapun yang telah merasakannya, entah kenapa ia akan menjadi seorang
pujangga yang mampu menafsirkannya begitu mudahnya. Jatuh cinta juga tidak
mengenal waktu dan keadaan. Ia bisa datang kapan saja, dimana saja bahkan dalam
kondisi apapun. Love is like wind, we can’t see it but we can feel it. (yah,
Ana bukan pujangga, jadi kata-kata ini pun diambil dari sumber lain)
Na’am,
jatuh cinta atau tertarik pada lawan jenis adalah sesuatu yang tak bisa
ditolak. Sehingga sangat tidak masuk akal dan tidak logis jika sesuatu yang
fitrah ini dilarang hadir pada diri manusia.
Islam
adalah agama yang sempurna. Islam sangat memahami hal ini. Bahwa cinta dan
kasih sayang adalah sesuatu yang fitrah ada pada diri manusia yang merupakan
karunia dari Allah:
”Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ruum : 21)
Sehingga
jelaslah sudah, bahwa Islam tidak melarang cinta dan kasih sayang. Islam tidak
melarang seorang laki-laki tertarik pada perempuan, begitu juga sebaliknya. Ini
membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sesuai fitrah manusia.
Islam
hanya mengatur dan memuliakan manusia, bagaimana tata aturan dalam mencurahkan
rasa cintanya itu. Pernahkah melihat kucing (yang ingin kawin)? Sang jantan
akan coba mendekati betina, menunjukkan ”kegarangan”nya, kemudian tanpa
”permisi” langsung ”nyosor” gitu aja. Tidak peduli mereka sedang berada dimana.
Di teras rumah orang, di warung, juga di jalan. Tidak peduli kucing betina
siapa, kalau sudah suka maka sang kucing jantan tidak akan malu-malu lagi.
Inilah dunia hewan. Dunia makhluk yang tidak mempunyai akal.
Kebayang
kalau manusia yang seperti itu? Itulah salah satu alasan adanya agama Islam,
manusia adalah makhluk yang terbatas. Ia tidak akan mengetahui apa yang baik
bagi dirinya, dan apa yang buruk bagi dirinya. Oleh karenanya sudah menjadi
fitrah bagi manusia bahwa ia memerlukan seperangkat aturan dari Dzat yang maha
sempurna untuk mengatur kehidupannya. Maha suci Allah yang tidak membiarkan
manusia terkatung-katung menjalani kehidupan. Betapa Maha pemurah dan penyayang
Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tidak membiarkan manusia hidup liar tanpa aturan
seperti hewan :
”Dan
sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang
Kami menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raaf : 52)
Sayangnya,
kini aturan Allah itu telah dibuang dari kehidupan bermasyarakat. Aturan Allah
hanya digunakan ketika mengatur permasalahan ibadah. Seperti tata cara shalat,
tata cara berhaji, masalah kejujuran, dan sejenisnya. Sedangkan untuk tata cara
mengemban negara, pendidikan, ekonomi, serta masalah sosial lainnya, Islam
dibuang. Termasuk untuk mengatur masalah pergaulan..
Astaghfirullah,
benarlah bahwasanya Islam diturunkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup manusia.
Islam diturunkan untuk mengatur manusia agar tidak hidup seperti hewan liar dan
bebas tanpa aturan. Manusia adalah makhluk yang mulia juga berakal, dan Allah
tidak membiarkan makhluk berakal ini hidup seperti makhluk tidak berakal. Bisa
dibayangkan, bagaimana hewan tidak berakal seperti kambing jika diseru untuk
hidup mulia dengan aturan Islam. Ia tidak akan pernah peduli, dan hanya akan
menjawab, ”mbeeeeee…”. Oleh karenanya Allah sangat mengecam makhluk berakal
seperti manusia yang tidak mau tunduk pada aturan-Nya, dengan sebutan lebih
sesat dari pada hewan ternak ! Ya, hewan tidak punya akal untuk berfikir.
Sedangkan manusia?
“Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.” (Al-A’raaf : 179)
Cinta
dan kasih sayang adalah fitrah. Islam tidak melarang ataupun mengekang akan hal
itu. Islam hanya mengatur serta menata sesuatu yang fitrah dan suci itu, sesuai
kodrat manusia sebagai makhluk yang berakal dan mulia. Konsep aturan tersebut
telah sangat rinci tertuang dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Sampai-sampai
Rasulullah berpesan sebelum kepergian beliau, ”.. Pegang erat-erat sunnah itu
dengan gigi geraham kalian..”
Begitulah
cinta yang di ajarkan Islam, Islam tidak sama sekali melarang cinta, namun
islam melarang kita menodai cinta.
Salah
satu wujudnya adalah aturan akan hubungan antar lawan jenis bukan nahram. Semua
mungkin sudah mafhum, yang gambaran umumnya adalah menjaga interaksi antara
laki-laki dan perempuan agar selalu sesuai koridor syari’at. Sebab hubungan
yang halal hanya ada pada ikatan pernikahan. Jika mampu, maka laksanakanlah,
dan jika masih belum mampu maka Rasulullah memerintahkan agar kita berpuasa.
Terkadang kita ragu terhadap pernikahan bila tidak memastikan si dia yang
dimintai untuk menunggu atau dimintai janji. Namun Islam menjawab keraguan ini
dengan sangat lugas :
“Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula).” (An-Nuur : 26)
Kini
telah jelas, pilihan ada pada kita. Mau taat atau tidak pada aturan-Nya.
Untuk
Sang Akhi Yang Sedang Menunggu Jawaban
Cukuplah
menjadi pengagum rahasia (bahasa kerennya Secret Admirer). Sang Akhi yang akan
selalu mendoakan yang terbaik untuk Sang Ukhti, yang hanya puas dengan
memandang Sang Ukhti dari jauh saja, hanya puas hanya dengan melihat senyum
Sang Ukhti. Tanpa berani untuk mengungkapkannya karena dia belum mempunyai
persiapan yang matang. Karena dia tahu jika dia mengungkapkan niat itu sekarang
itu malah akan mencelakakan Sang Ukhti karena akan membuat Sang Ukhti selalu
teringat padanya.
Untuk
Sang Ukhti Yang Sedang Bingung
Cukuplah
kau berkata, jodoh ada ditangan Allah. Kalaulah kita berjodoh Allah pasti akan
mempermudah langkahmu.
Untuk
Sang Ukhti dan Sang Akhi yang sudah terlanjur
Segera
putuskanlah perkara yang belum jelas itu. Karena sungguh hubungan antara pria
dan wanita itu hanya ada sebagai teman atau pasangan hidup saja. Tak ada
diantaranya. Jika memang saling mencintai, tentulah kalian menginginkan yang
dicintai selamat dunia dan akhirat dan tidak menjerumuskan yang dicintainya
pada perbuatan yang dilarang oleh Islam. Itulah makna cinta sejati,
Menginginkan yang dicintainya selamat di dunia dan akhirat, bukan malah
menjerumuskan pada perbuatan yang bisa mendatangkan dosa.
Percayakah
kalian dengan janji Allah kawan????
"Perempuan-perempuan
yang keji adalah untuk yang keji pula dan laki-laki yang keji untuk
wanita-wanita yang keji, sedangkan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang
baik dan laki-laki yang baik juga diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yang
baik….” (QS.24:26)"
(Moga-moga
ngga bosen ma terjemahan dari ayat Al-qur’an diatas yang diulang-ulang)
Apabila
dua orang telah digariskan untuk dapat hidup bersama, maka sejauh apapun
mereka, sebanyak apapun rintangan yang menghalangi, sebesar apapun beda
diantara mereka, sekuat apapun usaha dua orang tersebut maupun orang lain untuk
menghindarkan dan menjauhkannya, meski mereka tidak pernah berkomunikasi
sebelumnya, meski mereka sama sekali tidak pernah membayangkan sebelumnya,
meski mereka tidak pernah saling bertegur sapa, Pasti! tetap saja mereka akan
bersatu. Seakan ada magnet yang menarik mereka, akan ada hal yang datang untuk
menyatukan mereka berdua, akan ada suatu kejadian, yang membuat mereka saling
mendekat dan akhirnya bersatu
Namun,
apabila dua orang telah ditetapkan untuk tidak berjodoh, maka sebesar apapun
usaha mereka untuk saling mendekat seperti ikhwan yang meminta sang akhwat
menunggu, sekeras apapun upaya mereka dan orang-orang disekitar mereka untuk
menyatukannya, sekuat apapun perasaan yang ada diantara mereka berdua, sebanyak
apapun komunikasi diantara mereka sebelumnya, sedekat apapun. Pasti pula! akan
ada hal yang membuat mereka akhirnya saling menjauh, ada hal yang membuat
mereka saling merasa tidak cocok, ada hal yang membuat mereka saling menyadari
bahwa memang bukan dia yang terbaik, ada kejadian yang menghalangi mereka untuk
bersatu, bahkan ketika mereka mungkin telah menetapkan tanggal pernikahan
Hal
yang perlu dicatat disini adalah:
Yakinlah
bahwa yang diberikan oleh Allah
Yakinlah
bahwa yang digariskan oleh Allah
Yakinlah
bahwa yang telah ditulis oleh Allah dalam KitabNya
Adalah
yang terbaik untuk kita
Adalah
yang paling sesuai untuk kita
Adalah
yang paling membuat kita merasa bahagia,,,,
karena
Dialah yang paling mengerti kita lebih dari kita sendiri
Dialah
yang paling menyayangi kita
Dialah
yang paling mengetahui apa-apa yang terbaik untuk kita
sementara
kita hanya sedikit saja mengetahuinya dan itupun hanya berdasarkan pada
persangkaan kita
Dan
yang perlu kita catat juga adalah jika kita tidak mendapatkan suatu hal yang
kita inginkan itu bukan berarti bahwa kita tidak pantas untuk mendapatkannya,
namun justru sebaliknya, bahwa kita pantas, kita pantas mendapatkan yang lebih
baik dari hal tersebut, kita pantas mendapatkan yang lebih baik, ikhwan wa
akhwat Fillah, lebih baik, na’am, lebih baik, yakinlah!
meskipun
saat ini mata manusia kita tidak memahaminya, meskipun saat itu, perasaan kita
memandangnya dengan sebelah mata, meskipun saat itu, otak kita melihatnya
sebagai sesuatu yang buruk.
Tidak!
jangan terburu-buru memvonis bahwa kita telah diberikan sesuatu yang buruk,
bahwa kita tidak pantas, karena kelak, akan kita sadari, akan disadari
perlahan, bahwa apa yang telah hilang darimu, bahwa apa yang tidak didapatkan,
bukanlah yang terbaik untukmu, bukanlah yang pantas untukmu, bukanlah sesuatu
yang baik untukmu
Karena
itu, Ikhwan wa Akhwat Fillah, jangan mubadzirkan tenagamu, waktumu, perasaanmu,
air matamu, jangan kau umbar semua perasaan cintamu ketika engkau mencoba
menjalin proses ta’aruf, jangan kau umbar semua kekuranganmu, jangan kau
ceritakan semuanya, jangan kau terlalu ngotot ingin dengannya, jika engkau
mencintainya, karena belum tentu dia adalah jodohmu, pun jangan takut bila
ternyata kalian tidak merasa cocok, karena Allah telah menetapkan yang terbaik
untuk kita. Terimalah apapun ketentuan yang diberikan Allah kepada kita dengan
hati yang ikhlas, sabar dan tetap tawakal. Selalu berpikir positif tentang
ketentuan-Nya, karena Allah memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang
kita inginkan, semua terjadi sesuai dengan waktu yang dikehendaki-Nya bukan
sesuai dengan waktu yang kita inginkan.
Maka,
sudah seharusnya kita memohon pada-Nya, meminta pada-Nya diberikan petunjuk,
dan dijauhkan dari segala godaan yang ada, karena cinta sebelum pernikahan pada
hakekatnya adalah sebuah cobaan yang berat.
Mungkin
akan menjadi sebuah ketakutan tersendiri karena hanya memiliki sedikit saja
atau bahkan tidak memiliki teman lawan jenis. Kemudian merasa khawatir dan
merasa iri melihat teman-teman lain yang memiliki banyak teman lawan jenis yang
menyenangi, menyukai mencintai banyak yang melamar dan dilamar serta banyak
yang menginginkannya?
Mungkin
pernah terlintas rasa iri tersebut di hati atau sekedar ungkapan “hmm…enak
ya..kamu… punya banyak temen laki-laki…. punya banyak temen wanita….”
“hmm..kamu sih enak…banyak yang mau…tinggal milih…?”
Ikhwan
wa Akhwat Fillah, ketahui dan percayalah semua itu tidak ada kaitannya dengan
banyak sedikitnya kenalan banyak sedikitnya teman lawan jenis, sama sekali
tidak karena jika wanita yang terjaga maka Allahlah yang akan mengirimkan
pendamping untuknya, karena wanita yang terjaga adalah wanita yang banyak
didamba oleh seorang ikhwan sejati dan begitu pun sebaliknya. Jadi, jagalah
dirimu, hatimu, kehormatanmu, sebelum saatnya tiba.
Nah,
untuk para akhwat, jika datang kepadamu laki-laki baik-baik yang melamarmu,
maka bisa jadi dialah pangeranmu.
Kemudian
ikhwan, jika gadis pujaanmu telah dikhitbah laki-laki lain, maka ikhlaskanlah.
Bisa jadi dia bukanlah bidadarimu.
Janji
Allah tak pernah ingkar. Selalu dan selalu ditepati-Nya. Kalau yakin akan janji
orang tua, saudara, sahabat, maka layakkah kita ragu pada-Nya?
Maka
jika nantinya seseorang yang menjadi pujaan hati tidak berjodoh dengan kita,
cukuplah menjadi seorang kawan yang akan bahagia jika melihat kawannya bahagia
juga, mungkin dia tak cukup baik untukmu, pasti ada yang lain yang lebih baik
untukmu. Dan yakinlah, jika memang dia adalah pasangan dari tulang rusukmu,
maka tanpa dimintai untuk menunggu pun, Insya Allah, dia akan tetap menjadi
pendampingmu.
Percayalah,
Allah telah menciptakan seseorang yang khusus Dia ciptakan untukmu. Dia adalah
yang terbaik diantara yang baik.
Karena
harus kita yakini TULANG RUSUK TAKKAN TERTUKAR
Belajar
dari sejarah Fatimah Az zahra' dan Ali bin Abi Thalib. Walau mungkin tak
sesempurna shababat dan shahabiyah ini, tapi menjadikan tuntunan seperti apa
dan bagaimana menjaga hati.
Begitu
lama Fatimah menyimpan cintanya kepada Ali karena ingin menjaga hatinya. Semua
lamaran khalifah besar dan sahabat terdekat ayahnya yaitu Baginda Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam ditolak dan menunggu lamaran dari Ali, anak angkat
ayahnya.
Dengan
CINTA dan HARAP... Maka akhirnya cinta itu berbuah juga, Ali dengan gagahnya
melamar Fatimah, puteri kesanyangan Rasulullah. Begitu suci Fatimah menjaga
cintanya sehingga membuat Ali karamullahu wajhah berani untuk maju melamar
Fatimah.
Begitu
pun Ikhwan Langka Bernama Ali, Ikhwan itu sama dengan laki-laki lainnya. Rutin
berinteraksi dengan akhwat ayu, daiyah populer dari keluarga terpandang, dan
sekalipun tarbiyah bukan hanya sepekan sekali menerpa, namun dia masih manusia.
Perasaan itupun muncul tanpa diminta.
Namun
ia tahu posisi dirinya. Ia tahu mana batasnya. Cinta platonisnya disimpan
rapat-rapat. Jangankan untuk ‘nembak’ si akhwat, apalagi mengetikkan status di
wall FB kalau di zaman itu ada, untuk mengekspresikan pun ia bertahan.
Bertahan. Tak sesiapapun tahu gelisah hatinya.
Menjaga
kemuliaan diri dan juga kemuliaan si akhwat.
Apalagi,
mimpi memperistri sang akhwat kian memudar ketika tiba seseorang dengan
segalanya dengan keshalihan, kekayaan, kemasyhuran dengan tujuan yang juga lama
diidamkannya yaitu mengkhitbah akhwat pujaan. Dialah Abu Bakar ash-Shiddiq.
Seseorang
itu punya begitu banyak keutamaan. Tak mungkin sang akhwat menolaknya.
Gundahnya kian membulat.
Namun
tak diduga, langit hatinya kembali cerah. Lamaran pria masyhur itu ditolak.
Waktu
merambat dengan keteguhan menjaga kemuliaan diri. Namun seseorang kembali
datang, justru ketika ia tengah mengumpulkan segenap alasan dan keberanian
untuk hadir menjumpai orangtua si akhwat.
Pengkhitbah
kali kedua ini pria gagah. Maisyah juga tak masalah. Disegani kawan maupun
lawan atas kiprahnya di medan dakwah.
Ali,
ikhwan yang teguh menggenggam marwah, kembali menunduk. Tak mungkin sang akhwat
pujaan kali ini menolak pengkhitbah nan gagah. Cinta tak terucap itu lagi-lagi
harus dikubur dalam-dalam. Namun berita yang sama kembali bagai petir di siang
bolong. Pria kedua, Umar bin Khattab pun ditolak.
Skenario
Allah berlaku. Ya, Allah takdirkan Ali berjodoh dengan akhwat pujaan hatinya.
Mereka menikah. Dia baru berani mengatakan cinta kepada Fathimah, setelah
menikah. Ali, pemuda kesayangan Rasul, tetap menunggu waktu bertahun-tahun
untuk mengatakan cinta. Bukan karena dia pengecut tentu saja justru karena dia
adalah laki-laki kualitas surga.
Happy
ending? Pemuda bersahaja itu menemukan jawaban doanya. Tapi cerita belum
selesai sampai di sini. Suatu malam, istri cantiknya itu menyampaikan sebuah
rahasia yang mengejutkannya. “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu, aku
pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda.”
Ali
terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? Dan
siapakah pemuda itu?”
Sambil
tersenyum istrinya berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”
Maha
Suci Allah. Cinta platonis seorang ikhwan dan seorang akhwat. Kedua cinta tak
terekspresikan. Tak terkatakan. Padahal situasi dan tuntutan dakwah membuat
aktivitas mereka sering bertumbukan. Peluang untuk memberi sinyal ketertarikan
atau sekedar perhatian nan ‘wajar’ tumbuh di sini dan di sana, bila mereka mau.
Namun
pilihan menabrak mainstream-lah yang mereka ambil.
Dan
keduanya menyimpan perasaan itu rapat-rapat hingga ijab qabul-lah yang menjadi
pembuka hijab.
Cinta
platonis berakhir romantis antara ikhwan aktivis bernama Ali bin Abi Thalib
karamallahu wajhah dan akhwat daiyah bernama Fatimah Az-Zahra binti Muhammad
Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang paling penting, kisah mereka, Allah hadirkan
tentu bukan tanpa alasan.
Dari
sini kita tahu, Ikhwan dan Akhwat Sejati tak hanya khawatir terkena fitnah
tetapi juga takut dirinyalah yang menjadi fitnah bagi lawan jenisnya dan sangat
menjaga hati serta pergaulannya dengan lawan jenis, karena ia tahu luasnya ILMU
yang dimiliki tidak akan menjadikannya mulia, jika tidak diimbangi dengan menjaga
adab PERGAULAN dengan lawan jenis yang sesuai dengan aturan syari’at.
Maukah
menunggu setelah kita siap? Bukan meminta seseorang menunggu sampai kita siap!
Disinilah salah satu pertanda yang menunjukkan bagaimana seseorang dalam
menjaga hati dan pergaulannya terhadap lawan jenis. Bukankah akan lebih indah
bila bertemu dengan jalan yang diberkahi-Nya? Bukankah lebih membahagiakan bila
dipertemukan dalam kondisi lebih siap yang tentu saja diridhoi-Nya?
Boleh
jadi dia yang bercelana bahan “cingkrang” walau tidak kebanjiran, bersepatu
sandal atau pantofel, menyandang ransel. Sepintas penampilannya dewasa banget
apa malah seperti bapak-bapak, padahal umurnya lebih muda dari penampilannya
atau coba melihat ke bagian atas sedikit, ada jenggot tipis seperti kumpulan
semut hitam walau tidak berhidung mancung seperti orang arab (maklum ras asia),
atau juga mereka yang berbaju koko atau kemeja formil dan suka menundukkan
pandangan saat berjalan di tempat umum (walau kadang sering tidak sengaja
nabrak rambu-rambu jalan tapi tidak melanggar rambu syari’at). Pelengkapnya,
kemana-mana kerap membawa Qur’an kecil di saku atau ranselnya. Yang tak pernah
absen untuk istiqomah ke masjid karena tahu bahwa tempat sholat yang 5 waktu
bagi seorang ikhwan adalah di mesjid, bukan di rumah, malah tak jarang menjadi
muadzin bahkan imam mesjid. Yang di sepertiga malamnya ia habiskan untuk sholat
malam, berkhalwat dengan "Kekasih Sejati"nya. Yang agenda utamanya
Jihad Fisabilillah dan berjuang mencari nafkah hanya dengan rizki yang halal
adalah calon pendampingmu yang wanted banget.
Dan
tak ketinggalan pula, dia yang tidak mengenal yang namanya pacaran, tetapi
hanya mengenal ta'aruf untuk pernikahan, tidak mengenal dunia malam yang
sebelum maghrib ia telah pulang kerumah demi menjaga kehormatan dirinya dari
fitnah, tidak keluar rumah kecuali ada urusan yang sangat penting, tidak
mementingkan kepentingan duniawi, seperti berdandan yang berlebihan, memakai
minyak wangi yang berlebihan, ridho dengan ketentuan Allah yang mengharuskannya
‘ribet’ dengan memakai pakaian yang tidak menunjukkan bentuk lekuk tubuhnya,
pakaian longgar, menutup seluruh tubuh yang hanya menampakkan muka dan telapak
tangannya, berjilbab lebar dan tebal tidak tembus pandang dengan warna kalem
agar tidak mencolok mata yang memandangnya plus ‘perlengkapan perang’ pelapis
jilbab, manset mulai dari tangan hingga gamisnya, kaos kaki dan bahkan ada yang
memakai cadar dengan niqab, yang belum pernah bersentuhan kulit dengan
laki-laki ajnabi, yang tak rela sehelai saja rambutnya menyembul keluar dari
balik hijabnya sehingga terlihat laki-laki ajnabi, yang merasa risih jubah
bagian bawahnya sedikit saja tersingkap karena tak terlindungi celana pelapis
rok atau gamisnya bagian dalam saat menstarter sepeda motornya lagi-lagi karena
takut akan terlihat laki-laki ajnabi, yang merasa berdosa bila kaos kakinya
belum sempat dikenakan sehabis berwudhu sekali lagi karena takut terlihat
laki-laki ajnabi, selalu berhati-hati dalam bergaul, bertutur katanya sopan
serta tak mau membicarakan orang lain karena takut menjadi ghibah dan sangat mempunyai
etika, dia yang tak ingin wajahnya menjadi fitnah sehingga tak semudah itu
difoto dan dimintai foto serta tak sembarangan pula 'mengobral' fotonya dengan
alasan menjauhi perkara syubhat, maka tak perlu lagi ditanya bagaimana sikapnya
terhadap perkara yang haram, kalau bertemu lawan jenis seolah melihat
musuh,kalau bisa tidak berpapasan dengan menjauh kemudian menunduk (bahasa lain
gadhul bashor) dan kalau bicara dengan nada bicara yang tegas bukan karena
galak atau bukan sosok yang lembut tapi karena ia menjaga suaranya yang dapat
menjadi penyakit hati bagi lawan jenisnya.
Mau?
Berusahalah memenuhi kriteria diatas, Bismillah..!!!